Beranda | Artikel
Hadhânah Dan Syaratnya Dalam Islam
Selasa, 18 Oktober 2016

HADHANAH DAN SYARATNYA DALAM ISLAM

Oleh
Ustadz Khalid Syamhudi Lc

Angka perceraian di Indonesia cukup tinggi. Sebuah fenomena yang berdampak tidak hanya pada suami istri tersebut saja, tapi juga berdampak pada anak-anaknya. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut, tidak sedikit pula anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menanggung derita yang seharusnya tidak ia tanggung .

Padahal anak adalah amanah sekaligus karunia Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Penjelasan tentang hak anak sebagai manusia ini bisa jadi tidak bisa dipenuhi karena perceraian orang tuanya. Ditinjau dari sisi hak anak yang masih kecil dan belum mandiri, pengasuhan (hadhânah) adalah suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh orang tuanya, karena tanpa hadhânah anak akan menjadi terlantar yang berarti kehilangan hak-haknya.

Pengasuhan anak atau hadhânah dalam perspektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturannya sangat jelas. Sejak anak masih dalam rahim ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak sebagai seorang manusia sempurna seperti hak waris, hak wakaf dan yang paling asasi adalah hak nasab dari orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku efektif apabila ia telah lahir. Pengasuhan anak setelah terjadi perceraian bisa menjadi konflik antara orang tua. Bagaimana sebetulnya Islam menjelaskan pengasuhan anak setelah perceraian? Siapa saja pihak yang berhak memiliki hak pengasuhan dan apa saja syarat-syaratnya?

PENGERTIAN HADHANAH
Kata hadhânah adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, yang bermakna mengasuh atau memelihara anak.

Secara terminologis, hadhânah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhânah ini hanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini disebabkan karena si anak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya.Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilâyah).

HUKUM HADHANAH
Hadhânah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak akan hancur dengan sebab ditelantarkan. Oleh karena itu, wajib menjaga anak tersebut dari kehancuran sebagaimana diwajibkan menafkahinya dan menyelamatkannya dari kebinasaan.[1] Anak-anak kecil yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya. Sebagian Ulama fikih menukilkan Ijma’ tentang kewajiban mengasuh anak kecil hingga mempu mandiri.[2]  Hukum wajib di sini maksudnya yaitu wajib kifâyah.

Hadhânah sangat terkait dengan tiga hak:

  1. Hak wanita yang mengasuh
  2. Hak anak yang diasuh
  3. Hak ayah atau orang yang menempati posisinya

Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada hak yang lainnya.

Hadhânah (kepengasuhan) ini menjadi hak bagi sang anak (al-mahdhûn) juga orang yang mengasuh (al-hâdin). Dia menjadi hak anak (al-mahdhûn) ditinjau dari hak penjagaan yang harus didapatkan si anak yang jika ditelantarkan akan menyebabkan si anak sengsara.

Hadhânah (kepengasuhan) juga merupakan hak pengasuh (al-hâdhin). Ini jika ditinjau dari kebebasan yang dimilikinya untuk menuntut atau menggugurkan hak tersebut selama sang anak bisa diasuh oleh selainnya.

Orang yang berhak menuntut hak kepengasuhan ini adalah semua lelaki yang menjadi ashabah (semua lelaki yang menjadi ahli waris dari garis keturunan laki-laki selain suami-red) seperti bapak, kakek, saudara sekandung dan saudara sebapak dan paman. Juga semua wanita yang menjadi ahli warisnya seperti ibu, nenek, saudari atau orang yang punya pertalian darah dengan ahli waris seperti bibi, keponakan (anaknya bibi) atau sepupu dan yang lainnya. Jika semua yang di atas tidak ada lagi, maka pemerintah yang mengurusnya.[3]

Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

  1. Pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk mengasuh anak.
  2. Si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian. Karena mengasuh anak itu hanya hak (bukan kewajiban) serta tidak ada mudharat yang dikhawatirkan akan menimpa sang anak hanya karena keberadaan mahram lain selain ibunya.
  3. Seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alasan syar’i yang memperbolehkannya.
  4. Jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.

HIKMAH PENSYARIATANNYA
Anak-anak kecil dan yang semisalnya seperti orang gila atau lumpuh dan sejenisnya tidak mampu memelihara dirinya sendiri dan tidak mampu juga membinanya. Kondisi ini menuntut disyariatkannya kepengasuhan untuk menjaga orang-orang yang membutuhkannya dan memelihara urusan dan pembinaan mereka, apalagi saat terjadi perpisahan pasangan suami istri. Itu merupakan sebentuk rahmat bagi mereka sehingga mereka tidak rusak atau terlantar sehingga menjadi bencana bagi masyarakat.[4]

SYARAT MENDAPATKAN HAK ASUH (HADHANAH).[5]
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi demi menjaga dan memelihara kemaslahatan sang anak. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang masih diperselisihkan para Ulama.

Diantara syarat-syarat yang disepakati adalah:

  1. Berakal sehat. Hak pengasuhan tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berakal sehat.
  2. Amanah dalam agamanya. Maksudnya dia memiliki keshalihan dan tidak fasiq. Sebab orang fasiq seperti pemabuk, dikenal sebagai pezina tidak dapat dipercaya dalam menunaikan kewajiban kepengasuhan ini.
  3. Memiliki kemampuan dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang diasuh. Dalam hal ini, untuk kaum lelaki disyaratkan harus memiliki orang yang mampu mengurusi anak tersebut, seperti istri, budak, atau wanita yang dibayar untuk mengasuhnya. Hal ini disebabkan lelaki tidak memiliki kesabaran menghadapi keadaan anak-anak seperti kaum wanita, sehingga bila tidak ada orang yang mampu mengurusnya maka haknya berpindah kepada selainya. Demikian juga adat kebiasaan yang ada lelaki tidak langsung mengurusi anak-anak tapi megurusinya melalui istri-istri mereka.
  4. Pengasuh tidak memiliki penyakit yang dapat memudharatkan sang anak yang diasuh.
  5. Tinggal menetap di daerah anak yang diasuh.
  6. Wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan kerabat dari sang anak. Apabila sang wanita pengasuh tersebut baik ibu atau yang lainnya menikah dengan kerabat sang anak maka tidak hak hadhânah (kepengasuhan)nya tidak gugur. Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki lainnya. Ibnul Mundzir berkata, “Para Ulama berijma bahwa pasangan suami istri apabila berpisah dan memiliki anak bayi, maka ibunya yang paling berhak mengasuhnya, selama sang ibu belum menikah lagi. Mereka juga berijma’ (sepakat) bahwa tidak ada hak bagi ibu pada anaknya bila telah menikah lagi.[6]Hal ini juga ditegaskan oleh sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

“Wahai Rasûlullâh! Anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita ini, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“.[HR Abu Daud no. 2276, Ahmad (2/182 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak 2/225 dan dihasankan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud].

Diantara syarat-syarat yang masih diperselisihkan adalah:

Pertama : Islam.
Para Ulama berbeda pendapat tentang syarat ini. Madzhab Hanafiyah dan Mâlikiyah serta sebagian dari Ulama yang bermadzhab Syâfi’iyah juga madzhab Zhâhiriyah menyatakan bahwa Islam bukan syarat dalam hak Hadhânah. Sedangkan madzhab al-Hanâbilah dan pendapat yang shahih dalam madzhab Syâfi’iyah berpendapat bahwa Islam adalah syarat dalam Hadhânah.

Pendapat yang râjih adalah pendapat yang menjadikan Islam sebagai syarat untuk memperoleh hak hadhânah. Alasannya adalah hadhânah merupakan bentuk perwalian (al-wilâyah) dan tidak ada hak perwalian untuk orang kafir atas seorang Muslim. Juga karena dikhawatirkan sang anak akan terfitnah dalam urusan agamanya sebagai akibat dari pengajaran dan pembinaan yang dilandasi ajaran kekufuran. Ini jelas menjadi madharat (bahaya) yang sangat besar. Apalagi dipancang secara umum bahwa orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Ini adalah bahaya terbesar yang mengancam sang anak jika diasuh oleh yang kafir.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.

Kedua: Merdeka bukan budak.
Ada dua pendapat Ulama dalam masalah ini. Madzhab Mayoritas Ulama diantaranya madzhab Hanafiyah, Syâfi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat pengasuh adalah orang yang merdeka, bukan budak. Sedangkan menurut pendapat madzhab Mâlikiyah dan Zhâhiriyah, merdeka bukan termasuk syarat.

Pendapat yang râjih adalah pendapat mayoritas Ulama dengan alasan seorang budak tidak memiliki kemampuan untuk memberikan manfaat kepada sang anak dengan baik. Karena dia sibuk mengurus dan berkhidmat kepada tuannya. Sehingga dengan demikian, tujuan pemberian hak Hadhânah (hak asuh) tidak bisa terealisasi dengan baik. Alasan lainnya adalah hadhânah merupakan sebentuk perwalian dan tidak ada perwalian pada budak, sebab dirinya sendiri dan semua yang dia miliki  adalah milik tuannya.

Ketiga : ar-Rusyd.
Maksudnya, dia memiliki kemampuan untuk beraktifitas dan mampu menjaga harta dengan baik.

Madzhab Mâlikiyah dan Syâfi’iyah menetapkan bahwa pengasuh (hâdhin) dalam hadhânah harus memiliki sifat rusyd. Karena dikhawatirkan dia akan menghabiskan atau menyia-nyiakan harta sang anak yang sedang diasuhnya. Sedangkan madzhab Hanafiyah dan Hanabilah memandangnya bukan syarat.

Pendapat yang râjih adalah pendapat yang manyatakan itu bukan syarat, sebab rusyd adalah kemampuan mengelola harta dengan baik sehingga orang yang tidak memiliki sifat ini dilarang beraktifitas pada harta, sedangkan hadhânah tidak termasuk pengelolaan harta. Dalam hadhânah, hak yang diberikan adalah hak pemeliharaan anak agar bisa mendidik dan mengurusi kehidupan sang anak. Apabila dalam aktifitasnya terjadi sesuatu yang merugikan sang anak yang diasuhnya, maka hak hadhânahnya digugurkan karena lalai dalam mengurusi anak tersebut, bukan karena urusan pengelolaan harta yang jelek. Sehingga tidak bisa dijadikan syarat dalam hal ini. Wallahu a’lam

Dengan demikian jelaslah bahwa syarat-syarat ini harus diberlakukan dalam memberikan hak kepengasuhan (hadhânah) kepada pihak-pihak yang berhak memiliki hak tersebut. Sehingga bisa menjadi sarana menyaring mereka yang berhak dan tidak berhak agar hak kepengasuhan diberikan kepada orang yang paling tepat mengurus anak-anak tersebut hingga mandiri ketika usia mumayyiz. Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIX/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote       
[1] Lihat, al-Fiqhul Muyassar oleh ath-Thayyâr, 5/194
[2] Lihat at-Tâj wal Iklîl 4/214 dinukil dari al-Fiqh al-Muyassarah, 5/194
[3] Diambil dengan singkat dari al-Fiqh al-Muyasarah, 5/195
[4] Al-Fiqhu al-Muyassar, 5/194
[5] Diringkas dari Ahkâm al-Maulîd Fi Fiqhil Islam, hlm 459-472 dengan tarjih dan tambahan penulis
[6] Al-Ijma’ karya Ibnul Mundzir, hlm. 79. Lihat al-Mughni 9/298-299


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5882-hadhnah-dan-syaratnya-dalam-islam.html